Delta Mahakam Dulu dan Saat Ini

on Sabtu, 02 Oktober 2010
Delta makam berada di Kalimantan Timur. Secara ekologis kawasan Delta Mahakam didominasi oleh ekosistem mangrove seluas kurang lebih 150.000 hektar, terbentuk dari proses sedimentasi yang cukup lama dari sungai Mahakam yang memiliki panjang 770 km dengan debit aliran air 1.500 m3/detik dan konsentrasi muatan padatan tersuspensi mencapai 80 mg/l. Debit sungai yang tinggi sangat mempengaruhi formasi vegetasi mangrove di Delta Mahakam, yang berguna sebagai daerah asuhan (nursery ground) bagi udang.


citra SPOT daerah Mahakam
Hutan mangrove dapat menjamin terpeliharanya lingkungan fisik, seperti penahan terpaan angin, menjaga sirkulasi oksigen, dan intrusi air laut. Hutan mangrove juga dikenal sebagai tempat berkembangbiaknya ikan, udang, kepiting serta berbagai jenis burung dan mamalia yang dilindungi. Secara sosial ekonomi, bahwa hutan mangrove dapat dijadikan wilayah pembukaan tambak, wilayah pemijahan ikan dan udang, sebagai sumber kayu bakar dan arang, bahkan juga sebagai tempat wisata alam dan tempat pengembangan ilmu pengetahuan atau penelitian.
    Ekosistem hutan mangrove di Delta Mahakam dikenal sebagai salah satu ekosistem yang penting dalam satu siklus kehidupan bagi manusia dan lingkungannya. Di Delta Mahakam diperkirakan terdapat hutan mangrove seluas 150.000 ha dari 950.000 ha luas hutan mangrove yang ada di Kalimantan Timur. Kawasan hutan mangrove ini  menjadi penting karena hamparannya yang cukup luas  dan potensi perikanan serta kandungan minyak buminya. Selain mengemban fungsi ekologis, yaitu sebagai stabilisator lingkungan, kawasan hutan mangrove ini juga mengemban fungsi sosial ekonomi bagi kehidupan masyarakat.
    Saat ini diketahui bahwa luas hutan mangrove di Delta Mahakam terus menyusut dan diperkirakan tinggal sekitar 30.000. ha. Itu artinya bahwa 80% dari kawasan tersebut telah berubah fungsi (Santoso, 2000). Menurut Zuhair (1998) perubahan atau degradasi mangrove yang terjadi di Delta Mahakam terutama disebabkan oleh pembukaan untuk pembangunan jalan pipa oleh perusahaan minyak dan untuk pembuatan tambak udang, serta eksploitasi kayu untuk berbagai kepentingan.Tentu saja perubahan drastis ini telah membawa perubahan-perubahan yang berdampak luas terhadap masa depan kawasan Delta Mahakam sendiri. Diantaranya terhadap kelangsungan hidup masyarakat yang selama ini bergantung kepada Delta Mahakam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebagai contoh bahwa saat ini telah terjadi penurunan produktivitas dari tambak yang ada serta  adanya indikasi kuat menurunnya hasil perikanan di sekitar Muara Mahakam. Selain itu, bila masyarakat nelayan ingin menangkap ikan harus menempuh jarak layar yang lebih jauh dari sebelumnya. Dampak lainnya adalah intrusi air laut makin mendekati kota Samarinda terutama bila musim kemarau dan kondisi air yang makin keruh sehingga membutuhkan perlakuan yang lebih mahal untuk mendapatkan kualitas air bersih.
Sekarang ini situasi di  kawasan Delta  Mahakam semakin memprihatinkan. Terjadinya perusakan lingkungan oleh berbagai macam aktivitas telah berdampak pada abrasi, erosi dan menurunnya kualitas air, menurunnya produktivitas tambak udang serta menurunnya potensi alam (migas). Adanya pemahaman bahwa kepentingan ekonomi jauh lebih dominan daripada kepentingan ekosistem dan belum menyatu dan sejalannya persepsi para pemangku kepentingan atas kawasan Delta  Mahakam disadari juga semakin memperparah permasalahan kawasan Delta  Mahakam.
Dalam rentang kurun waktu 12 tahun terakhir, tambak udang di Delta  Mahakam telah berkembang pesat dan menjadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat setempat dengan konsekwensi resiko berupa pengrusakan lebih dari 50.000 hektar hutan bakau dan tegakan nipah. Selain itu, budidaya udang adalah suatu kegiatan yang sangat menguntungkan, namun sangat merusak bagi lingkungan, khususnya di wilayah Delta  sungai yang rawan, setidaknya seperti yang telah terjadi di berbagai penjuru dunia. Jika budidaya udang dirancang dengan pendekatan untuk jangka pendek, maka budidaya ini akan menjadi kegiatan yang paling merusak (lingkungan). Seperti telah banyak diketahui, siklus ledakan dan limpahan produksi udang secara besar-besaran, biasanya akan mengakibatkan hancurnya produksi itu sendiri.
Dampak yang dirasakan saat ini oleh masyarakat setempat yang juga para pekerja dan atau pemilik tambak udang di sekitar Delta  Mahakam adalah sulitnya memperoleh air bersih, karena pencemaran limbah tambak dan abrasi dan erosi yang serius dari air laut. Siklus kebutuhan air bersih ini tidak saja mengganggu keberlanjutan produksi tambak udang namun juga untuk kehidupan masyarakat lokal sehari-hari. Sehingga prediksi kerugian jangka panjang adalah penurunan produk dan produktivitas (daya saing) dari hasil produksi tambak udang, tercemarnya lingkungan hidup dan tidak tersedianya secara pasti air bersih bagi kehidupan masyarakat lokal sehari-hari.
Keseimbangan dari system ekologi di Delta  Mahakam saat ini telah mengakibatkan kerusakan: seperti mutu air menurun, penyakit berkembang di tambak-tambak udang, tingkat keasinan arus hulu meningkat, kehidupan organik terganggu, keasaman meningkat. Air segar bakau dan hutan, pelindung utama bagian hulu Delta  telah tercemar. Akibatnya keuntungan budidaya udang menurun, karena limbah dari kegiatan tambak tidak dapat diserap sehingga menyebabkan tingginya tingkat kematian udang. Hal ini mengurangi manfaat ekonomi kegiatan tersebut dan mengancam mata pencaharian masyarakat yang hampir mutlak tergantung pada hasil tambak. Selain itu, pembuangan air kotor dan akses terhadap air bersih dari Delta  telah secara nyata turut menjadi faktor penyebab sejumlah konflik sosial, selain faktor konflik penggunaan tanah, penguasaan hak-hak atas tanah, pencemaran di Delta , merosotnya produktivitas ekologi dan perebutan pengaruh dan sumberdaya ekonomi yang mengancam sistem pendukung kehidupan (life support system).
Kondisi sosial ekonomi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya yang didominasi oleh sekelompok masyarakat turut menjadi faktor yang memberikan kontribusi atas permasalahan di Delta  Mahakam. Budidaya tambak udang di Delta  Mahakam merupakan mata pencaharian utama bagi lebih dari 50.000 jiwa masyarakat lokal di 29 desa, dan saat ini budidaya tambak udang telah berkembang dari usaha keluarga secara tradisional menuju sebuah industri budidaya udang semi modern yang melibatkan partisipasi pihak swasta (investor) untuk mobilisasi permodalan, sumber daya alam, lahan produksi, sumber daya manusia dan tekonologi. Yang sekarang menjadi problema utama adalah ketidakberdayaan masyarakat setempat dalam meraih akses ekonomi, dibandingkan dengan juragan tambak (punggawa) dan pengguna sumber daya lainnya. Peran para pemodal lokal (punggawa) dalam berperan menjadi patron para petambak dalam hal memberikan akses modal, sarana produksi, ketrampilan, dan akses pasar. Intinya memperpendek mata rantai ekonomi yang menggurita.
Perkembangan budidaya tambak udang yang semakin maju ditunjang oleh faktor utama yaitu eksploitasi daya guna dan daya dukung lahan sebagai strategi untuk menambah kapasitas produksi, untuk dapat memenuhi kekuatan permintaan (Market Supply) dan perluasan pasar (Demand Market) dengan tujuan mengejar keuntungan besar dalam waktu singkat. Namun strategi ini tidak diiringi pemahaman atau kurangnya perhatian terhadap keseimbangan ekologi seperti tidak terkendalinya pembabatan/pembukaan  hutan lindung dan rusaknya mangrove yang berfungsi untuk  penanggulangan erosi dan abrasi air laut.
Hal lain yang ikut menyumbang ketidakberdayaan penataan lingkungan hidup adalah kurang optimalnya peran Pemerintah Daerah setempat untuk melahirkan kebijakan tata guna lahan dan pengembangan sosial ekonomi berbasis keseimbangan lingkungan hidup serta lemahnya fasilitasi/pendampingan stakeholder pembangunan dan masyarakat lokal. Walaupun yang mengemuka merupakan masalah lingkungan hidup, tetapi isu dasar sebenarnya adalah pelumpuhan masyarakat lokal. Sedangkan isu-isu yang lain, tata ruang, kepenguasaan lahan dan lain-lain mengikuti dinamika dasar substansi. Hakekat permasalahan di Delta  mahakam adalah benturan kepentingan atas sumberdaya pada lokus yang sama (kepentingan nasional, daerah, pemodal lokal dan masyarakat).


DAFTAR PUSTAKA
http://anekaplanta.wordpress.com/
http://adefadli.n3.net/
http://www.pmdmahakam.org/index.php?option=com_content&task=blogsection&id=1&Itemid=33&lang=in

Letusan Gunung Galunggung Tasikmalaya


sebagai pemberitahuan saja, saya berasal dari kota Tasikmalaya tercinta.
saya sebagai orang Tasik,hanya ingin share sebuah tulisan mengenai letusan Gunung Galunggung pada Tahun 1882.
cekidot..


SARI
 Galunggung adalah gunungapi aktif strato tipe-A yang terletak di Kabupaten Tasikmalaya dan Garut, Jawa Barat dengan koordinat geografis sekitar 7° 15′ LS dan 108°03′ BT. Galunggung mempunyai ketinggian 2168 m di atas muka laut dan 1820 m diatas dataran Tasikmalaya. Berdasarkan catatan dari DVMBG, gunung Galunggung menempati daerah seluas ±275 km2 dengan diameter 27 km (barat laut-tenggara) dan 13 km (timur laut-barat daya). Di bagian barat berbatasan dengan G. Karasak, dibagian utara dengan G. Talagabodas, di bagian timur dengan G. Sawal dan di bagian selatan berbatasan dengan batuan tersier Pegunungan Selatan. Secara umum, G. Galunggung dibagi dalam tiga satuan morfologi, yaitu: Kerucut Gunung Api, Kaldera, dan Perbukitan Sepuluh Ribu.
Kerucut gunung api, menempati bagian barat dan selatan, dengan ketinggian 2168 m diatas permukaan laut, dan mempunyai sebuah kawah tidak aktif bernama Kawah Guntur yang berbentuk melingkar berdiameter 500 meter dengan kedalaman 100 – 150 meter. Kerucut ini merupakan kerucut gunungapi Galunggung tua sebelum terbentuknya Kaldera, mempunyai kemiringan lereng hingga 30° di daerah puncak dan menurun hingga 5° di bagian kaki. Kaldera Galunggung berbentuk sepatu kuda yang terbuka ke arah tenggara dengan panjang sekitar 9 km dan lebar antara 2-7 km. Dinding Kaldera mempunyai ketinggian maksimum sekitar 1000 meter di bagian barat-barat laut dan menurun hingga 10 m di bagian timur-tenggara.
Di dalam kaldera terdapat kawah aktif berbentuk melingkar dengan diameter 1000 meter dan kedalaman 150 meter. Di dalam kawah ini terdapat kerucut silinder dengan ketinggian 30 meter dari dasar kawah dan kaki kerucut berukuran 250 x 165 meter yang terbentuk selama periode letusan 1982-1983. Pada Desember 1986, kerucut silinder ini tertutup oleh air danau kawah; dan pada 1997, setelah volume air danau kawah dikurangi melalui terowongan pengendali air danau, kerucut silinder ini muncul kembali di permukaan air danau. Perbukitan Sepuluh Ribu atau disebut juga perbukitan “Hillock”, terletak di lereng kaki bagian timur-tenggara dan berhadapan langsung dengan bukaan kaldera. Perbukitan ini menempati dataran Tasikmalaya dengan luas sekitar 170 km2, dengan jarak sebaran terjauh 23 km dari kawah pusat dan terdekat 6,5 km. Lebar sebaran nya sekitar 8 km dengan sebaran terpusat pada jarak 10 – 15 km. Jumlah bukit nya sekitar 3.600 buah dengan tinggi bukit bervariasi antara 5 sampai 50 meter di atas dataran Tasikmalaya dengan diameter kaki bukit antara 50 – 300 meter serta kemiringan lereng antara 15o – 45o. Perbukitan ini terbentuk sebagai akibat dari letusan besar yang menghasilkan kaldera tapal kuda dan melongsorkan kerucut bagian timur-tenggara, yang terjadi sekitar 4200 tahun yang lalu.
Kelompok batuan Gunung Galunggung terbagi dalam 3 (tiga) formasi, yaitu:
•    Formasi Galunggung Tua, yang merupakan periode pembentukan gunung api strato Galunggung tua. Formasi ini merupakan hasil kegiatan dengan pusat erupsi di Kawah Guntur (Galunggung Tua), yang terdiri atas perselingan aliran lava, piroklastika dan lahar, serta dike yang membentuk kawah Galunggung Tua. Analisis umur dengan metoda 14C pada lapisan strato menghasilkan umur 20.000-25.000 tahun, dengan demikian umur seluruh kegiatan Galunggung Tua diperkirakan antara 50.000-10.000 tahun yang lalu. Volume batuan mencapai 56,5 km3, dan kegiatan gunung api ini diakhiri dengan intrusi cryptodome di bawah kawah Guntur.
•    Formasi Tasikmalaya, yang merupakan periode pembentukan kaldera tapal kudaserta endapan perbukitan Sepuluh Ribu (Ten Thousand Hills). Formasi ini merupakan endapan batuan Perbukitan Sepuluh Ribu yang terbentuk sebagai akibat letusan besar pada 4200 150 tahun yang lalu, yang menyebabkan terbentuknya kaldera tapal kuda pada bagian timur-tenggara kawah Gunung Api Galunggung. Selain endapan longsoran Perbukitan Sepuluh Ribu batuan hasil letusan lainnya adalah awan panas dan lahar.
•    Formasi Cibanjaran, yang merupakan periode post caldera formation sampai dengan letusan 1982-1983. formasi ini merupakan hasil kegiatan letusan yang tercatat dalam sejarah, yaitu 1822, 1894, 1918 dan 1982-1983.
peta geologi regional gunung galuggung dan sekitarnya

LETUSAN GUNUNG GALUNGGUNG
Gunung Galunggung tercatat pernah meletus pada tahun 1882 (VEI=5). Tanda-tanda awal letusan diketahui pada bulan Juli 1822, di mana air Cikunir menjadi keruh dan berlumpur. Hasil pemeriksaan kawah menunjukkan bahwa air keruh tersebut panas dan kadang muncul kolom asap dari dalam kawah.
Kemudian pada tanggal 8 Oktober s.d. 12 Oktober, letusan menghasilkan hujan pasir kemerahan yang sangat panas, abu halus, awan panas, serta lahar. Aliran lahar bergerak ke arah tenggara mengikuti aliran-aliran sungai. Letusan ini menewaskan 4.011 jiwa dan menghancurkan 114 desa, dengan kerusakan lahan ke arah timur dan selatan sejauh 40km dari puncak gunung. Letusan ini berkekuatan 8,26.
Letusan berikutnya terjadi pada tahun 1894. Di antara tanggal 7-9 Oktober, terjadi letusan yang menghasilkan awan panas. Lalu tanggal 27 dan 30 Oktober, terjadi lahar yang mengalir pada alur sungai yang sama dengan lahar yang dihasilkan pada letusan 1822. Letusan kali ini menghancurkan 50 desa, sebagian rumah ambruk karena tertimpa hujan abu.
          Pada tahun 1918, di awal bulan Juli, letusan berikutnya terjadi, diawali gempa bumi. Letusan tanggal 6 Juli ini menghasilkan hujan abu setebal 2-5mm yang terbatas di dalam kawah dan lereng selatan. Dan pada tanggal 9 Juli, tercatat pemunculan kubah lava di dalam danau kawah setinggi 85m dengan ukuran 560x440m yang kemudian dinamakan gunung Jadi.
          Letusan terakhir terjadi pada tanggal 5 April 1982 (VEI=4) disertai suara dentuman, pijaran api, dan kilatan halilintar. Kegiatan letusan berlangsung selama 9 bulan dan berakhir pada 8 Januari 1983. Selama periode letusan ini, sekitar 68 orang meninggal, sebagian besar karena sebab tidak langsung (kecelakaan lalu lintas, usia tua, kedinginan dan kekurangan pangan). Perkiraan kerugian sekitar Rp150 milyar dan 22 desa ditinggal tanpa penghuni.
          Secara umum periode letusan 1982-1983 dibagi menjadi 3 fase ; sesuai dengan tipe erupsinya, yaitu :
Fase pertama, letusan awal (5 April-6 Mei 1982) berupa letusan tipe Pellean yang menghancurkan kubah lava Gunung Jadi, serta menghasilkan awan panas, lontaran batu, hujan batu, abu, dan gas. Kubah lava yang terhancurkan diperkirakan 40%. Awan panas meluncur dan mengendap di Cibanjaran sejauh 5,1 km serta di Cikunir dan Cipanas sejauh 4,6 km. Tinggi abu letusan mencapai 12 km dari kawah.
          Letusan pada 17-19 Mei, masih merupakan fase penghancuran kubah lava dianggap sebagai letusan utama dalam fase pertama ini, dimana tinggi asap letusan mencapai 30 km dan sisa kubah lava Gunung Jadi sebesar 5%. Setelah fase letusan pertama ini, kegiatan selanjutnya selalu merupakan kelompok letusan.
Fase kedua, berupa erupsi tegak tipe vulkano, yang secara dominan menghasilkan piroklastik jatuhan, lontaran batu dan hujan pasir, serta menghancurkan seluruh sisa kubah G. Jadi. Tinggi asap letusan pada 13-19 Juli mencapai 35 km dan melemparkan sebagian sumbat lava pada pipa kepundan hingga kedalaman 150 meter dari dasar kawah. Terjadi semburan lava pijar dan abu.
          Letusan 24 Juni, menyebabkan pesawat terbang British Airways 747 melakukan pendaratan darurat, karena salah satu dari keempat mesin jetnya mati akibat kemasukan abu.
          Fase ketiga, merupakan erupsi Strombolian yang melontarkan batu pijar seperti kembang api. Letusan yang lebih lemah dan menyemburkan asap dan abu dengan tingkat penghancuran kecil, mencapai tinggi maksimal asap letusan setinggi 12 km. Letusan terus mengecil atau melemah dan terjadi penumpukan bahan letusan berupa tefra di dasar kawah dan di sekeliling lubang letusan membentuk kerucut silinder dengan ketinggian 60 m diatas dasar kawah. Fase erupsi ini diakhiri oleh keluarnya aliran lava dari radial fissure dekat dasar kerucut silinder. Sejak Januari 1983 Gunung Galunggung sudah tidak memperlihatkan aktifitasnya lagi, letusan yang terjadi pada Januari 1984 berupa dua letusan phreatik kecil yang mengeluarkan uap air dan sedikit abu.
Karakter Letusan
Karakter kegiatan G. Galunggung berupa erupsi leleran sampai dengan letusan yang sangat dahsyat yang berlangsung secara singkat atau lama, atau dari letusan yang bertipe Strombolian hingga Pellean. Tanda-tanda peringatan kegiatan (precursor) hanya berlangsung antara beberapa bulan hingga minggu menjelang letusan. Kegiatan erupsi leleran terjadi apabila fase istirahatnya sangat pendek (<25 tahun), sedangkan letusan berskala kecil menengah kecil ( VEI 3, erupsi tipe Stromboli-Vulkano lemah) setelah melalui masa istirahat antara 60-75 tahun. Letusan berskala menengah - besar (VEI : 4-5, erupsi tipe vulkano kuat-Pelee) didahului masa tenang selama ratusan tahun dan letusan berskala besar - sangat besar (VEI 6) berlangsung setelah istirahat beberapa ribu tahun.


PENYEBAB LETUSAN
             Sebuah konsep yang menarik yang dikemukakan adalah bahwa diameter Bumi bergantung kepada jumlah panas yang dikandungnya. Panas ini secara tetap menghilang ke ruang angkasa dengan makin mendinginnya Bumi. Letusan volkanik pun menghilangkan panas Bumi. Maka, Bumi secara konstan semakin menciut ukurannya. Penghilangan panas dan penciutan ini semakin cepat menuju pusat Bumi, karenanya semakin ke pusat Bumi semakin tak ada kerak batuan yang keras. Penciutan Bumi juga menjadi penyebab mengapa kerak Bumi mengerut terdeformasi menjadi punggungan, kontinen, dan samudera. Perbedaan penciutan antara inti Bumi dan kulitnya menjadi penyebab deformasi ini.
            Deposit sedimen di dasar laut mengandung 5-25 % air terperangkap di antara butir-butir batuannya. Suatu ketika lapisan sedimen ini terpendam sangat dalam  sekitar 20.000 kaki atau lebih
sehingga terpapar kepada panas interior Bumi. Air yang terperangkap di dalamnya akan meningkat temperaturnya melebihi titik didihnya. Panas ini datang bukan dengan cara konduksi tetapi juga melalui intrusi magma seperti dike. Air mendidih ini ingin selalu berubah menjadi keadaan gas, bila menemukan garis
lemah di sekitarnya maka tekanan uap ini akan membukanya kemudian energinya akan meletus membentuk gunungapi. Bila letusannya begitu besar, maka air panas bertekanan tinggi ini akan meleburkan batuan di sekitarnya kemudian akan menjadi produk letusan gunungapi sebagai lava.


PENANGGULANGAN BENCANA
 Dari tanda - tanda awal gunung itu mau meletus sampai benar - benar meletus butuh waktu 9 bulan. Dalam waktu 9 bulan itulah orang sudah membuat tanggul dari batu batu besar yang diikat dengan kawat , dengan harapan bahwa lahar yang datang bisa dibelokkan dan dialirkan ke sungai yang tidak melewati kota Tasikmalaya. Selain itu juga sudah dibuat terowongan - terowongan injeksi untuk mengurangi jumlah air yang ada di kawahnya.
Sistem pencegahan bencana yang dilakukan dengan membangun tanggul dan terowongan. Penentuan posisi tanggul itu dimungkinkan karena bentuk dari puncak kawah dari Gunung Galunggung yang mempunyai slope failure yang jelas mengarah ke
arah kota Tasikmalaya. Sehingga dengan adanya tanggul tersebut aliran lahar dapat dibelokkan keluar kota Tasikmalaya.
Latihan - latihan penanganan bencana sudah dilakukan. Masyarakat sudah diajarkan untuk menuju muster point begitu tanda evakuasi dibunyikan. Masyarakat pun dengan antusias mengikuti latihan - latihan tersebut.
Hari makin dekat, aktivitas gunung makin tinggi , para petugas pengawas gunung api memberi tanda evakuasi agar para penduduk segera mengungsi.
 
PENANGANAN OLEH PEMDA TASIKMALAYA
 Pemerintah Daerah meningkatkan sosialisasi tentang mitigasi bencana geologi kepada masyarakat yang tinggal di wilayah rawan bencana. Sejak dua tahun yang lalu, Pemda telah bekerja sama dengan DVMBG dan mengadakan program sosialisi mengenai penanggulangan bencana alam kepada masyarakat di belasan kecamatan yang rawan dari bencana alam.
          Di samping itu, Pemda melalui dinas dan instansi terkait, telah menyiapkan anggaran serta langkah-langkah khusus yang perlu segera dilakukan dalam hal menanggulangi akibat yang timbul dari bencana alam.
 
DAMPAK LETUSAN
 Perkiraan kerugian yang disebabkan oleh letusan Gunung Galunggung sekitar Rp 1 milyar dan 22 desa ditinggal tanpa penghuni. Letusan pada periode ini juga telah menyebabkan berubahnya peta wilayah pada radius sekitar 20 km dari kawah Galunggung, yaitu mencakup Kecamatan Indihiang, Kecamatan Sukaratu dan Kecamatan Leuwisari. Perubahan peta wilayah tersebut lebih banyak disebabkan oleh terputusnya jaringan jalan dan aliran sungai serta areal perkampungan akibat melimpahnya aliran lava dingin berupa material batuan-kerikil-pasir. Pada periode pasca letusan (yaitu sekitar tahun 1984-1990) merupakan masa rehabilitasi kawasan bencana, yaitu dengan menata kembali jaringan jalan yang terputus, pengerukan lumpur/pasir pada beberapa aliran sungai dan saluran irigasi (khususnya Cikunten I), kemudian dibangunnya check dam (kantong lahar dingin) di daerah Sinagar sebagai 'benteng' pengaman melimpahnya banjir lahar dingin ke kawasan Kota Tasikmalaya.
Dampak yang disebabkan oleh meletusnya gunung Galunggung adalah munculnya mata pencaharian baru di wilayah bencana. Mata pencaharian tersebut adalah penambangan pasir yang diakibatkan semburan gunung Galunggung. Dilakukanlah eksploitasi pemanfaatan pasir galunggung yang dianggap berkualitas untuk bahan material bangunan maupun konstruksi jalan raya. Pada tahun-tahun kemudian hingga saat ini usaha pengerukan pasir galunggung tersebut semakin berkembang, bahkan pada awal perkembangannya (sekitar 1984-1985) dibangun jaringan jalan Kereta Api dari dekat Station KA Indihiang (Kp. Cibungkul-Parakanhonje) ke check dam sinagar sebagai jalur khusus untuk mengangkut pasir dari galungung ke Jakarta.
Akan tetapi, mayoritas penambangan pasir tersebut dilakukan oleh masyarakat bukan petani. Bagi petani keinginanannya yang utama adalah tetap bertani. Meskipun lahan pertaniannya telah tertutup pasir, para petani tersebut tetap tidak mengusahakan penambangan pasir. Mereka bahkan membiarkan penambang melakukan penambangan pasir di lahan miliknya. Hal itu disebabkan mereka merasa terbantu oleh penambangan tersebut yang mereka anggap telah membersihkan lahan-lahan pertanian mereka. Sehingga ketika pasir sudah habis, dalam waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, para petani baru bisa menggarap sawahnya kembali.
Dengan demikian budaya pertanian di daerah bencana alam gunung Galunggung tidak hilang. Di sini dikatakan budaya pertanian, hal itu disebabkan sistem mata pencaharian merupakan salah satu unsur dari tujuh unsur pokok kebudayaan. Mata pencaharian lebih dilihat sebagai unsur budaya daripada unsur ekonomi.
 
REFERENSI
 Anonym, http://desta9e-bencanaalam.blogspot.com/
Anonym, http://dekade80.blogspot.com/2008/10/disertai-suara-dentuman-pijaran-api-dan.html
Anonym, http://gajahkurus.wordpress.com/2008/10/06/pesona-kawah-galunggung/
Anonym, http://www.geocities.com/andri_harpan/galunggung
Anonym, http://luckymulyadisejarah.wordpress.com/2008/06/11/sejarah-bencana-alam/
Anonym, http://www.pu.go.id/infopeta/rwnbanjir/bencana2006/00galunggung.htm
Anonym, http://putra-galunggung.blogspot.com/2008/01/penelusuran-awal-letusan-gunung.html
 Anonym, http://www.mail-archive.com/iagi-net@iagi.or.id/msg10291.html
Anonym, http://www.mail-archive.com/iagi-net@iagi.or.id/msg20687.html